Dalam istilah keseharian, ananiyah memiliki padanan dengan kata mementingkan diri sendiri atau bahasa gaulnya semau gue. Perangai buruk tersebut sebenarnya berdampak negatif bagi pemiliknya. Dikarenakan sikap mau menang sendiri dan rendah peduli kepada orang lain, membuat dirinya tersisih dari dunia pergaulan. Tipe orang demikian jika dijadikan teman tidak segan menggunting dalam lipatan. Bila menjadi pemimpin ada kemungkinan bertipe arogan, dan otoriter. Demikian pula jika dimiliki orang biasa, biasanya sulit diatur.
Padahal hakekatnya manusia membutuhkan orang lain, kegembiraan tidak lengkap jika hanya berada sendirian. Begitu pula saat mengalami kesulitan, peran orang lain menjadi sangat dibutuhkan. Atas kebutuhan tersebut, manusia sering membentuk komunitas. Ada paguyuban pedagang sayur, kerukunan warga RT, komunitas motor gede bahkan ada komunitas pemilik nama yang sama ataupun kelompok arisan para sosialita.
Memang tidak bisa dipersalahkan jika seseorang membela diri, mementingkan dan mengamankan dirinya sendiri. Tetapi jika selalu ingin menang sendiri akibatnya membuat orang lain menjadi tidak simpati. Bayangkan saja ketika hendak menyebrang, tiba-tiba ada kendaraan yang menyelinap memotong jalan. Melihat ulah demikian, pasti kesal dibuatnya. Begitu pula tatkala jalan macet dan banyak antrian, tiba-tiba ada kendaraan yg main serobot ingin berada di depan. Padahal perilaku demikian justru menambah keruwetan. Terlebih lagi sifat tak terpuji ini juga dipertontonkan dalam tayangan debat di televisi. Para nara sumber yg nota bene tokoh nasional dan berasal dari kalangan terpelajar, terkadang mereka terjebak dalam adu mulut yg tidak mau dikalahkan. Sikap egois sepertinya tumbuh subur merajalela, seakan menjadi sulit untuk menghilangkan, mengingat kondisi tersebut sudah berlangsung turun temurun silih berganti antar generasi.
Salah satu upaya agar menjauhkan diri dari sikap egois adalah dengan mengendalikan diri untuk sadar aturan dan sadar tujuan. Dunia milik bersama sehingga perlu dinyamankan agar tidak saling berebut untuk selalu menang. Sementara orang lain harus di urutan belakang. Cara membiasakan diri yang relevan adalah menanamkan sadar antri. Sikap ini perlu ditanamkan sejak dini, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Memang, rendah disiplin belum mendapat tempat di masyarakat bahkan masih menjadi problematika berbangsa. Budaya antri dan taat azas memang masih berada jauh panggang dari api. Semrawut, acak-acakan dan suk-sukan adalah tidak jarang ditemukan. Walau keadaan sesulit apapun, budaya disiplin perlu tegakkan dalam rangka mewujudkan citra negara yang bermartabat.
Ihtiar berikutnya yang dapat ditempuh dalam menanggulangi sifat ananiyah adalah dengan menghargai orang lain. Sifat egois sering dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghargai diri terlalu tinggi dan memperlakukan rendah terhadap orang lain. Guna mereduksi, perlu memegangi prinsip toleransi agar manusia memiliki kenyamanan yang setara. Ingin dihargai hendaknya menghargai, ingin didengar maka biasakan mendengar. Apabila seseorang tergesa-gesa di jalan, maka orang lain bisa mengalami hal yang sama. Menghargai kepentingan orang lain adalah modal dasar untuk mewujudkan kebersamaan.
Manusia sejatinya terlahir dalam keadaan sama, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Hal yang selanjutnya membedakan adalah faktor ihtiar dan takdir Tuhan. Perbedaan status kaya dan miskin, pejabat dan rakyat hendaknya tidak menghilangkan nurani untuk saling menghargai. Kesediaan untuk menghargai pada gilirannya menumbuhkan sikap menghormati kepada sesama. Dengan adanya sifat terpuji ini diharapkan dapat meredakan ambisi untuk mementingkan diri sendiri.
Cara lain dalam mengurangi kemauan menang sendiri adalah membiasakan diri untuk gemar berbagi. Alam sebenarnya merupakan sarana pembelajaran untuk berbagi. Matahari yang terus menerus berputar untuk menebar manfaat bagi kehidupan. Demikian pula bumi, air dan angin. Bahkan ada istilah pengorbanan lilin yang rela hancur demi penerangan. Semangat berbagi adalah cara alami agar manusia tidak berambisi untuk memiliki segala sesuatu hanya untuk dirinya. Bercermin pada keutamaan alam dan tamsil pengorbanan lilin hendaknya menjadi terinspirasi untuk tidak berkeberatan dalam berderma. Saling sharing merupakan cara berbagi rasa, guna mengatasi kesulitan dan mengurangi penderitaan. Dalam suasana serba sulit, kita berbagi dengan mengulurkan tangan. Ketika dalam bus ada ibu muda yang hamil tua berdiri, kita berbagi merelakan kursi. Kebiasaan berbagi sebaiknya terus menerus ditumbuhkembangkan. Hal tersebut tidak saja meringankan beban bagi orang lain, tetapi sebenarnya memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Strategi berbagi merupakan cara bermanfaat menjauhkan sikap arogan dan sifat untuk mau menangnya sendiri.
– Rubrik Etikita Majalah Derap Guru, Februari 2021