Pak Sulardi didatangi pemilik rumah kontrakan beberapa kali. Hal ini dikarenakan guru wiyata bakti di salah satu SD Negeri tersebut menunggak bayar kontrakan beberapa bulan. Bahkan dirinya diintimidasi jika dalam waktu seminggu tidak mampu melunasi, maka resikonya harus angkat kaki. Walaupun sudah berusaha ke sana ke mari namun belum juga mendapat pinjaman. Walhasil kepalanya menjadi pusing tujuh keliling. Kondisi ekonomi keluarga dengan satu putra itu memang bisa dikatakan njomplang. Honor bulanan dalam kadar memprihatinkan selalu krisis untuk mencukupi kebutuhan keseharian. Pada awalnya pak Sulardi menyadari bahwa dengan penghasilan pas-pasan, dia berencana menempati rumah dinas kepala sekolah yang kebetulan kosong. Tetapi apa daya istrinya beda selera, dengan serta merta mengajukan alasan bahwa di lokasi SD tersebut sulit sinyal. Ilustrasi sekilas ini, menggambarkan bahwa keluarga guru tersebut berada di bawah garis kemiskinan namun garisnya tidak kelihatan. Lebih parah lagi, bapak guru ini mengalami tekanan intimidasi ganda. Satu sumber berasal dari pemilik kontrakan sedang dari sisi lain secara kontinyu terintimidasi oleh ulah sang istri.
Intimidasi merupakan perilaku mengancam baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan menebar ketakutan. Terjadinya intimidasi biasanya dilatarbelakangi oleh berbagai alasan. Salah satu sebabnya antara lain karena rasa kecewa atau merasa tersakiti atas ucapan atau tindakan. Tindakan pembalasan dari sakit hati tersebut sering diujudkan dengan melakukan intimidasi. Merasa iri hati atau takut tersaingi juga menjadi kemungkinan penyebab intimidasi .
Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi gesekan yang menyebabkan timbulnya intimidasi. Fenomena intimidatif bisa terjadi dan menimpa siapa saja serta dari kalangan manapun. Seorang staf bisa terintimidasi oleh atasan. Seorang istri dapat juga terintimidasi oleh suami karena tidak memenuhi standar mutu pelayanan. Hal yang sangat disayangkan adalah jika terjadi intimidasi pada anak oleh obsesi orang tua. Harapan agar menjadi penurut, pintar dan membanggakan merupakan bentuk tuntutan orang tua. Apabila tekanan ini secara massif dialami oleh anak, bukan tidak mungkin perkembangan anak justru berbalik arah. Anak mungkin justru berkembang menjadi nakal atau sebaliknya menjadi rendah diri. Begitu pula dalam dunia pendidikan para siswa seringkali mengalami intimidasi yang secara tidak sengaja menjadi muatan ketika berlangsungnya proses pembelajaran. Tuntutan untuk berprestasi berkemungkinan untuk terjadinya intimidasi. Dalam hal ini seorang guru seyogyanya menerapkan teori psikologi sehingga upaya pendidikan yang dilaksanakan konstruktif. Hal ini juga bermanfaat menjadi penangkal untuk mencegah terjadinya perilaku intimidatif di kalangan para siswa.
Kategori paling darurat dalam hal terintimidasi adalah yang datang dari diri sendiri. Penyebabnya bersumber dari gagalnya keinginan atau rencana yang tidak terrealisir. Kegelisahan tersebut kemudian berkutat dalam fikiran yang akhirnya menyebabkan batin menjadi tertekan. Sumber lain terjadi akibat intimidasi dari orang lain. Barangkali karena tidak berani menghadapi, kemudian merangkai khayalan seakan mampu melakukan pembalasan. Padahal rasa takut tersebut justru membuat kekhawatirannya menjadi-jadi. Hal inilah yang justru semakin membuat dirinya terkungkung dalam suasana kekalutan berkepanjangan. Rangkaian cerita fiktif menegangkan tersebut jika tidak segera dihentikan akibatnya justru terus menerus meneror pada diri sendiri.
Salah satu cara untuk keluar dari keadaan terintimidasi oleh diri sendiri adalah dengan melakukan identifikasi masalah. Jika intimidasi terjadi karena kesalahan yang diperbuat maka jalan keluarnya adalah meminta maaf. Sehingga kesalahfahaman segera terklarifikasi dan suasana mereda kembali. Apabila karena melanggar kesepakatan, langkah mengatasinya adalah dengan berkomunikasi dan bernegosiasi. Dengan cara ini diharapkan ditemukan jalan damai. Upaya lain agar keluar dari masalah adalah dengan cara sadar realita. Berfikirlah secara obyektif, jika memang tidak berdaya melawan perbuatan intimidasi, maka hindari dari membuat cerita fiktif yang seakan mampu melawan. Kemudian merangkai khayalan sedemikian rupa dengan mengandalkan keajaiban. Padahal alur cerita rekayasa tersebut merupakan bentuk pengalihan yang irasional dan lari dari kenyataan. Hadapi segala sesuatu secara ksatria dengan mengesampingkan faktor imajinasi. Karena dengan menyimpan khayalan yang dikaitkan dengan perlakuan intimidasi justru akan menambah ketakutan. Di samping itu, jauhi bayangan-bayangan menakutkan yang membuat tekanan intimidasi justru menjadi bertambah parah. Berserah diri dan berdoa memohon perlindungan Tuhan merupakan solusi paling meneduhkan agar dibebaskan dari tekanan akibat perlakuan intimidasi. Dalam suasana terpojok sekalipun tetaplah berbaik sangka, karena setiap orang tidak selalu bersifat buruk tetapi juga memiliki sisi baiknya. Hal ini amat bermanfaat dalam menangkal munculnya reaksi tidak rasional akibat menerima perlakuan intimidasi.
– Rubrik Etikita Majalah Derap Guru, Juni 2021