Hikmah di balik musibah

Pandemi membuat manusia tiada berdaya. Apalagi penyebaran virus ini sangat masif dan sulit terdeteksi. Berbagai upaya telah dilakukan, tetapi nampaknya belum menunjukkan hasil kepastian. Musibah global ini membuat umat manusia dilanda kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan. Padahal jika rasa was-was yang berlebihan justru dampaknya dapat membahayakan. Sikap tepat dalam menghadapi pandemi adalah berdamai dengan perkembangan situasi. Secemas apapun manusia tidak bisa merubah suasana, tetapi terkungkung dalam belenggu kekalutan juga tidak memecahkan persoalan. Maka menciptakan suasana wajar adalah solusi bijak untuk tetap menjalani kehidupan tanpa kehilangan harapan. Sungguh amat relevan petuah Ibnu Sina yang menyatakan bahwa gelisah adalah setengah dari penyakit. Ketenangan adalah setengah dari obat dan sabar adalah awal dari kesembuhan.

Pada masa pandemi yang sulit diprediksi ini memang seharusnya mengedepankan sikap tenang sekaligus waspada. Protokol kesehatan diikuti dengan seksama dengan tanpa merasa terbebani. Peralatan yang dibutuhkan seperti masker dan handsanitizer hendaknya tersedia dimanapun anda berada. Bilamana perlu kelengkapan cadangan selalu dipersiapkan dalam tas atau kendaraan. Hal ini menjadi tindakan antisipasi mengadapi keluapaan, sehingga tidak menimbulkan kepanikan tatkala diperlukan.

Bila kita cermati firman Tuhan bahwa segala penciptaan tidak ada yang sia-sia. Demikian pula dengan diturunkannya wabah. Barangkali jika ditelusuri pasti ada butir-butir hikmah yang menjadi bahan perenungan. Apalagi jika meminjam istilah Ebiet G Ade dalam syair lagunya: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Maka riuh rendah pandemi dapat dikatakan sebagai sebuah teguran. Maka dari itu, merenungi dan instrospeksi merupakan respon paling tepat demi menindaklanjuti peringatan dini.

Fakta bahwa kehidupan modern yg dicirikan dengan mobilitas tinggi dan ritme kerja yang menyita waktu menjadikan rumah hanya sebagai tempat singgah. Hubungan anggota keluarga antara satu sama lain tidak terjalin sehingga hubungan antara ayah dan anak justru seperti orang lain. Maka wabah ini merupakan nasihat paksa untuk memperkumpulkan anggota keluarga. Seorang ayah wfh dan anak-anak belajar daring dari rumah. Keganasan virus ini secara terang-terangan memarahi para penyuka hidup glamour untuk menghentikan kegemarannya. Bagaimana tidak, semua tempat hiburan ditutup paksa bahkan arena rekreasi juga tidak ada yang buka. Sebuah nasihat memang kadang pahit dirasakan tetapi pasti mengandung asas kemanfaatan.

Anjuran untuk selalu mencuci tangan dapat dimaknai sebagai bagian dari peringatan agar manusia selalu menjaga diri dari berbagai kejahatan. Konon, berbagai tindak kejahatan menjadi terealisasi atas jasa dari tangan. Mulai dari tangan penjambret sampai tanda tangan koruptor adalah bukti dari bahwa tangan memang sangat berperan. Sementara itu, di masa sekarang ini ungkapan mulutmu harimaumu sudah tidak signifikan lagi dan berubah menjadi jari jemarimu adalah harimaumu. Dahsyatnya fitnah dan berita palsu Tidak lagi keluar dari mulut tetapi oleh pekerjaan jari jemari di tombol pesawat hp.

Demikian pula dengan anjuran untuk memakai masker. Masker tidak saja menangkal masuknya virus, tetapi kenyataannya juga menutupi wajah. Paras muka memang merupakan bagian sentral dari penampilan. Perawatan guna memaksimalkan penampilan tidak jarang menjadi prioritas yang membutuhkan dana fantastis. Dengan kehadiran virus, seolah manusia diberitahu agar tidak terlalu berlebih dalam mengistimewakan wajah. Bagi seorang wanita terkurangi dana untuk lipstick dan bagi pria bermanfaat untuk mengendalikan konsumsi rokok. Nasihat lain dari memakai masker agar manusia hemat berbicara, sehingga tidak mudah menebar gossip dan fitnah ke mana-mana.

Jaga jarak menjadi salah satu saran dalam mengurangi sebaran virus. Istilah ini juga sering terlihat di bagian belakang angkutan umum. Versi berbeda dengan anjuran sama yakni untuk menjaga keselamatan. Jaga jarak juga diberlakukan dalam berbagai jenis pertemuan, jamuan atau bahkan reunian. Hal ini dimaksudkan untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Hikmah lain yang digali barangkali manusia diminta untuk mengurangi interaksi yang juga tidak dipungkiri sering menjadi sarana tumbuhnya fitnah, ghibah atau kemadhorotan lainnya. Peribahasa Jawa juga mengingatkan agar aja cedhak-cedhak kebo gupak; jangan berdekatan dengan kerbau kotor, karena bisa terimbas oleh kotoran.

Guna menangkal paparan virus, manusia dianjurkan tidak saja untuk menjaga imun, tetapi juga iman. Hal ini mengisyaratkan agar manusia lebih mendekat diri pada Tuhan dengan banyak berdoa. Segala segi kehidupan memang tidak bisa terlepas kekuasaan Allah. Maka dengan ibadah dan doa diharapkan memperoleh keselamatan baik di masa kini atau sesudahnya.

– Rubrik Etikita Majalah Derap Guru, Januari 2021

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *